sahabat

Tampilkan postingan dengan label catatan beo Manggarai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label catatan beo Manggarai. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Agustus 2012

Haju Kencing (apa bhs indonesian e?)

Orang Ruteng sering menyebutnya haju kencing. Saya sendiri tidak tahu apa bahasa ilmiah untuk haju kencing ini. Dulu, waktu saya masih kecil, haju kencing banyak dijumpai di seputar kota Ruteng, terutama di ruas jalan dalam kota. Saat ini, haju kencing sudah sangat jarang ditemui. Foto yang saya ambil ini adalah foto haju kencing di depan Efata (Bruderan St. Aloysius Ruteng). Haju kencing banyak menyerap air, sehingga bakal bunganya sering dijadikan mainan oleh anak-anak. Di dalam bakal bunga tersebut banyak mengandung air, dan kebetulan buahnya berujung lancip, sehingga kalau buahnya dipencet akan menyemprotkan air (seperti orang lagi kencing hehehe, mungkin karena itu orang menyebutnya haju kencing).

Upacara Roko Molas


A. Apa itu upacara Roko Molas Poco?


Dilihat dari segi kata, Roko berarti mengambil, Molas diidentikkan dengan wanita cantik dan Poco berarti gunung.
Upacara ini merupakan upacara pengambilan kayu di hutan yang digunakan sebagai tiang utama dalam pembuatan rumah adat (mbaru tembong).
Dalam upacara ini “Molas Poco” yang diambil untuk dijadikan tiang utama (Siri Bongkok) yang akan dibuat dan diletakkan di tengah-tengah rumah adat yang akan dibuat; dan rumah adat yang akan dibuat tersebut berbentuk kerucut dan bagian ujung atas rumah dipasang tanduk kerbau (rangga kaba).

B. Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan upacara Roko Molas Poco

1. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini tokoh-tokoh adat (tu’a golo, tu’a teno) mengundang anggota masyarakat, berkumpul di halaman kampung (natas) untuk mengadakan musyawarah dalam rangka pembuatan rumah adat (mbaru tembong).

2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini, anggota masyarakat maupun tokoh-tokoh adat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Roko Molas Poco (kelompok yang akan pergi ke hutan untuk mengambil kayu tersebut) dan kelompok sundung/curu molas poco (kelompok yang akan menjemput Molas Poco tersebut). Upacara Roko Molas Poco ini diawali dengan acara teing hang atau pemberian sesajian di altar sesajian (compang) yang dipimpin oleh tu’a golo.
Setelah upacara “teing hang” selesai, barulah kelompok “Roko Molas Poco” berangkat ke hutan (puar) dengan membawa ayam (manuk), tuak, kapak (cola), parang (kope), serta alat-alat lain yang dibutuhkan saat upacara tersebut berlangsung.
Setiba di hutan, kelompok “Roko Molas Poco” beserta tu’a golo duduk menghadap pohon yang akan dijadikan sebagai “Molas Poco” atau “Siri Bongkok”. Kemudian tu’a golo, menyampaikan permohonan atau kepok atau torok tae kepada roh-roh, arwah-arwah nenek moyang.
Setelah torok tae tersebut selesai barulah kayu tersebut dipotong dan “Molas Poco” tersebut diusung ke kampung oleh kelomppok Roko. Sesampainya di dekat kampung (Pa’ang beo) kelompok Roko Molas Poco tersebut dijemput (sundung/curu) oleh kelompok penjemput, dengan diiringi tarian-tarian dan dilanjutkan torok/kepok sundung/curu.

C. Pihak-pihak yang terlibat
Pihak yang terlibat dalam upacara Roko Molas Poco yaitu tokoh-tokoh adat (tu’a golo, tu’a teno) serta seluruh anggota masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah tersebut.
Keterlibatan tu’a golo, tu’a teno dalam upacara ini sebagai orang yang memimpin upacara Roko Molas Poco dan juga sebagai orang yang menyampaikan torok/kepok saat upacara berlangsung.
Keterlibatan anggota masyarakat yaitu sebagai orang yang mengambil (Roko) serta menjemput (curu/sundung) “Molas Poco” atau “Siri Bongkok” bersama tu’a teno dan tu’a golo.

D. Apa saja yang dibutuhkan untuk upacara tersebut?
Yang dibutuhkan dalam upacara “Roko Molas Poco” ini diantaranya adalah ayam (manuk), moke (tuak), kapak (cola), serta parang (kope).

E. Dimana acara itu dilakukan?
Acara “Roko Molas Poco” ini dilakukan di halaman kampung (natas) dan pengambilan “Molas Poco” (Roko Molas Poco) dilakukan di hutan (puar).

F. Kapan acara itu dilakukan?
Acara “Roko Molas Poco” ini dibuat dalam rangka pembuatan rumah adat (mbaru tembong).

G. Mengapa acara itu dilakukan?
Acara “Roko Molas Poco” ini dibuat karena merupakan warisan leluhur. Dan tujuan upacara ini dibuat agar rumah adat atau mbaru tembong yang akan dibuat tetap kokoh, serta memberikan ketentraman bagi warga yang mendiami kampung tersebut.

GO’ET MANGGARAI

- Mori jari dedek, tanan wa awangn eta, pukul parn agu kolep, ulun le wain lau:
(Tuhan pencipta langit dan bumi serta segala isinya, Tuhan pencipta dan pembentuk kehidupan manusia dan segala makhluk serta segala alam raya)

* Nilai Kesehatan

- Neka nepo leso, neka ringing tis:
(Jangan lekang karena terik matahari, jangan demam karena hujan rintik)

- Uwa haeng wulang, langkas haeng ntala
(Tinggi sampai di bulan dan jangkau sampai di langit)

- Cimang neho rimang cama rimang rana, kimpur neho kiwung cama kiwung lopo
(Kekar kuat seperti batang lidi ijuk dari jenis pohon enau yang bertumbuh subur)

* Tentang Persahabatan

- Curup hae ubu, neho luju mu’u cepa hae reba cama neho emas lema:
(Bersahabatlah dengan baik dan berbicaralah dengan sopan)

- Neka conga bail jaga poka bokak, neka tengguk bail jaga kepu tengu :
(Jangan congkak atau sombong)

- Ngong ata lombong lala, kali weki run lombong muku:
(Orang lain dipersalahkan padahal diri sendiri bersalah)

- Nai ca anggit, tuka ca leleng:
(Seia sekata, satu konsepsi demi kesatuan aksi)

- Inggos-inggos wale io:
(Cepat-cepat jawal io (jawab sopan)

* Tentang Permusuhan
- Purak mukang wajo kampong:
(Orang yang menyerang kampung berhadapan muka)

- Ngampong tanah, ngawe wae:
(Dibatasi dengan jurang dan kali, permusuhan yang tidak boleh melanggar batas)

- Sesa mu’u eta kali ngampong kin tuka wa:
(Di mulut baik-baik, padahal dalam hati tetap bermusuhan)

- Tu’ung le mu’u toe le nai:
(Mulut berkata benar tetapi hati tidak)

* Tentang Kebijaksanaan
- Ca pujut kali nuk, ca dako kali anor:
(Kurang bijaksana)

- Tiwu lewe lewing lembak
(Kolam besar dan priuk bermulut lebar)

- Nai ngagil tuka ngengga
(Penuh kebijaksanaan)

* Tentang Memberi Motivasi

- Kantis ati, racang rak cengka lemas:
(Hati dan paru-paru diasah)

- Na’a ngger wa rak, na’a ngger eta lemas:
(Supaya berani berjuang sampai memperoleh yang diharapkan)

- Ngo le golo bombong wela lokom:
(Hati-hati jangan sampai di atas bukit sudah berbunga seperti kayu lokom)

- Lalong pondong du ngon, lalong rombong du kolen:
(Pulang membawa keberhasilan)

- Asam ndusuk tana ru konem lalen tana sale:
(Walaupun negeri sendiri ditumbuhi ndusuk dan tanah orang berkelimpahan lale)

- Neka hemong kuni atu kalo/neka oke kuni atu kalo:
(Jangan lupa kampung halaman sendiri/jangan buang kebiasaan tanah tumpah darah)

* Tentang Menjaga Nama Baik

- Neka pocu wa’u, neka jogot hae golo:
(Jangan membusukkan nama anggota klen/subklen dan sesama kampung)

- Neka mas agu hae ata, neka nggaut agu hae mbaru:
(Jangan bermusuhan dengan orang)

- Reges lima leke, tawa lima gantong:
(Tertawa lepas terbahak-bahak menunjukkan kegembiraan dalam kebersamaan)

* Go’et yang Berhubungan Dengan Leluhur

- Serong dise empo mbate dise ame:
(Wasiat leluhur, warisan ayah)

- Tanah ledong dise empo:
(Tanah warisan leluhur)

- Tanah kuni atu kalo:
(Kampung halaman)

* Go’et Pergantian Keturunan

- Eme wakak betong asa, manga waken nipu tae:
(Kalau induk rumpun bambu tumbang, akarnya tumbuh melanjutkan kehidupan yang sama)

- Bom tombo le run rukus, bom tura le run kula:
(Kepiting tidak bicara sendiri, musangpun tak memberitahukan warna kulitnya)

- Wae de ase, agu wae de kae:
(Keturunan kakak dan keturunan adik)

* Go’et Dalam Perkawinan

- Api toe caing, wae toe haeng:
(Ungkapan anak wina kepada anak rona meminta anak menantu)

- Bom salang tuak, salang wae:
(Bukan jalan tuak yang cepat mati tetapi air yang mengalir terus)

- Pase sapu selek kope, weda rewa tuke mbaru:
(Memakai destar, masuk rumah melalui pintu datang meminang seorang gadis dengan resmi)

- Ita kala le pa’ang, tuluk pu’u batu mbaru:
(Melihat gadis dan terus datang meminangnya)

- Neka maring jarang laki, neka tinang jarang kina:
(Menyindir keluarga laki-laki agar melunasi belis)

- Hi nana lelo tana, hi enu lelo awang:
(Perbuatan melanggar susila)

- Anak pencang wa, ende lomes koleh:
(Istri yang bergaya muda, tua di rumah muda di jalan)

- Cawi neho wuas, dole neho ajos:
(Terpilin laksana rotan, terpintal bagai tali ajo)

* Go’et Berkaitan Dengan Tempat Tinggal

- Ca natas bate labar, ca uma bate duat, ca mbaru bate kaeng, ca wae teku:
(Satu kampung halaman tempat bermain, satu kebun tempat kerja, satu rumah tempat tinggal)

- Ulun le wain lau, ngalorn awo waen sale:
(Dari hulu sungai sampai muara/lingkungan kampung yang lebih luas)

SUMBER :
1. Buku Budaya Daerah Manggarai
Drs. Antony Bagul Dagur, M.Si
Prospek dan Strategi Perkembangan Kabupaten Manggarai dalam Perspektif Masa Depan
Penerbit Indonesia Jakarta
Pengantar: Gubernur NTT, Piet Alexander Tallo, S.H.
Dirjen Otda Depdagri, Dr. Oentarto Sindung Mawardi, M.Si

2. Buku Budaya Daerah Manggarai
Petrus Janggur, B.A
Butir-butir Adat Manggarai
Penerbit Artha Gracia
Jl. Diponegoro No.14

TRADISI HANG HELANG MANGGARAI

Dalam masyarakat Manggarai, satu bentuk tradisi keberagamaan yaitu agama lokal dan yang sering dilakukan adalah acara teing hang atau helang/takung.
Acara teing hang dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai yang beragama lokal untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal yang dipercayai bahwa mereka mempunyai kekuatan supra empiris, dan helang/takung dibuat oleh masyarakat beragama lokal di Manggarai itu di bawah pohon besar (langke), batu besar dan mata air/temek untuk mempersembahkan kepada nenek moyang atau leluhur yang menjaga benda-benda tersebut dan diyakini mempunyai kekuatan supra empiris.
Acara teing hang atau helang/takung dilaksanakan setiap tahun baru, penti dan wuat wa’i, karena pada saat itu masyarakat Manggarai yang beragama lokal mengucapkan syukur dan memohon perlindungan nenek moyang dan leluhur melalui teing hang atau helang.

Secara sosiologis, acara teing hang atau helang/takung ini bermaksud untuk memberi makan kepada leluhur atau nenek moyang yang sudah meninggal yang diyakini memiliki kekuatan supra empiris.
Arwah leluhur yang sudah mati itu diyakini oleh masyarakat agama lokal di Manggarai memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Arwah leluhur dipandang sebagai jembatan do’a atau letang temba kepada Tuhan bagi yang ditinggalkan dan helang/takung dipandang sebagai suatu bentuk ucapan syukur roh yang tinggal atau menjaga batu besar itu dapat menjaga dan memberi berkat yang berlimpah kepada masyarakat agama lokal (di Manggarai). Atas dasar itu, acara teing hang / helang/takung dilakukan dengan maksud agar arwah leluhur itu tetap menjaga kehidupan yrang yang masih hidup dan agar nenek moyang itu tetap setiap menyampaikan doa dari orang yang masih hidup kepada leluhur yang mempunyai kekuatan supra empiris.
Nilai sosial dari acara teing hang atau takung adalah dilakukan oleh masyarakat Manggarai pada umumnya dan juga acara teing hang atau helang/takung ini dilihat sebagai suatu bentuk keyakinan masyarakat agama lokal di Manggarai kepada arwah nenek moyang atau leluhur sebagai perantara atau jembatan doa kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang supra empiris. Selain itu, acara teing hang atau helang ini dilihat sebagai alat ukur yang menilai aspek religius masyarakat yang beragama lokal di Manggarai. Dan mereka percaya bahwa dengan melaksanakan acara teing hang atau helang mereka memperoleh keselamatan baik bagi dirinya maupun masyarat luas umumnya.

cerita rakyat" Lanur dan Timung Te'e " manggarai

Lanur mengerjakan ladang bersama-sama dengan warga kampung. Ladang mereka terletak ditepi hutan, dan yang paling dekat dengan hutan adalah ladang milik Lanur. Mereka mengerjakan ladang itu kurang lebih 2 bulan. Bulan ketiga mereka menanami ladang tersebut dengan jagung dan padi. Benih-benih itu ludes dimakan kera-kera yang tinggal di hutan sekitar kawasan hutan. Lanur dan isterinya Timung Te’e menanam kembali menggantikan yang telah dimakan kera. Tetapi setiap kali digantikan selalu dimakan kera. Lanur dan isterinya mengeluh, persediaan benih telah habis. Mereka hendak meminta benih kepada orang lain, tetapi niat mereka diurungkan, karena mereka tahu akan habis dimakan kera.
Suatu hari Timung Té’é pergi ke hutan mencari sayur-sayuran hutan, sayur-sayuran cukup banyak, tetapi tumbuhnya sangat jarang diantara pohon-pohon besar. Kera-kera berayun pada cabang pohon-pohon besar itu. Sampailah Timung Té’é pada sebuah pohon yang dihuni kera paling besar, gemuk, tambun dan tengkuknya padat berisi. Kera seperti itu orang Manggarai menyebutnya Kodé Seket. Sayur-sayuran hutan di sekitar pohon itu sangat banyak. Kodé Seket memperhatikan Timung Té’é yang sedang memetik sayur, ia sangat mengagumi kecantikan wanita itu. Kodé Seket itu terbius oleh kecantikan Timung Té’é , sehingga timbul niatnya untuk menggoda dan berbuat jahat terhadap Timung Té’é . Tetapi ia belum berani melakukan hal itu karena segan akan keanggunan dan kewibawaan Timung Té’é. Kodé Seket itu terbuai dalam lamunan membayangkan kebahagiaan saat bersanding dengan Timung Té’é di pelaminan. Lamunan Kodé Seket itu menerawang ke alam mimpi yang indah dan romantis, sehingga tak disadarinya ia berteriak, “matak iné, hombés molasn” (aduhai, sungguh cantiknya). Timung Té’é tidak menghiraukan pujian Kodé Seket itu, ia mengira hanya main-main. Hari-hari selanjutnya terjadi hal yang sama, sehingga kesabaran Timung Té’é menjadi hilang. Benih jagung dan padi telah mereka habiskan, muncul ulah godaan terhadap dirinya, pujian bernada cinta.
Timung Té’é selalu penasaran karena ulah kode seket itu. Timung Té’é tak bisa sabar terus-menerus, karena itu ia melaporkan ulah Kodé Seket itu kepada suaminya. Lanur sangat marah mendengar penyampaian isterinya, tetapi Timung Té’é dapat menenangkannya. Timung Té’é berkata, “bapak tak usah marah, karena tidak akan menyelesaikan persoalan. Kita mencari akal untuk memusnahkan Kodé Seket itu dan kawan-kawannya. Kera-kera itu keterlaluan, benih padi dan jagung kita telah ludes, lalu Kodé Seket menggoda dan akan menikahi aku bila bapak telah meninggal. Kodé Seket itu mengira bahwa aku ini perempuan yang tidak tahu diri dan tidak tahu menghormati serta menghargai suamiku”. Lanur menerima saran isterinya, lalu mengusulkan untuk memasang jerat dan ranjau pada batas hutan dan ladang mereka. Timung Té’é berkeberatan terhadap usul Lanur lalu katanya, “bapak, cara itu kurang tepat karena keterbatasan waktu dan bahan-bahan yang diperlukan terlalu banyak. Aku mengusulkan kita mengulangi cara yang kita lakukan terhadap Kodé Lama. Kita baringkan sebatang kayu besar setinggi bapak, dibungkus kain kafan. Bapak dan tiga ekor anjing bersembunyi dalam wadah di loteng. Bapak dan tiga ekor anjing itu turun secepatnya dari loteng apabila lubang-lubang lantai, dinding telah ditutup serta pintu diiikat kuat-kuat. Seorang pemuda kampung kita undang semalam sebelumnya, kita ceritakan rencana kita dan diberi petunjuk bagaimana cara mengabarkan kematian bapak di hutan di kediaman kode seket itu”. Lanur berpikir sejenak, lalu katanya, “usulmu itu baik, cara itulah yang kita gunakan”.
Keesokkan paginya sebatang kayu dibungkus kain kafan seperti membungkus mayat. Petugas yang bertugas mengabarkan kematian Lanur berangkat ke hutan.
Orang itu masuk ke setiap kelompok tempat tinggal kera-kera itu dan mengabarkan tentang kematian Lanur. Demikian pula dilakukan di tempat tinggal si Kodé Seket. Mendengar kabar itu, Kodé Seket menyuruh beberapa kera untuk memanggil pemimpin-pemimpin kelompok untuk segera menghadap.
Kera-kera itu bergegas pergi memanggil para pemimpin kelompok itu. Beberapa saat kemudian pemimpin kelompok datang menghadap. Setelah semuanya hadir, Kodé Seket memberitahukan tentang kematian Lanur serta menyuruh mereka pergi melayat jenazah Lanur. Pemimmpin-pemimpin kelompok pulang ke tempat masing-masing, setiap pemimpin memanggil seluruh rakyat mereka. Kepada mereka diberitahukan tentang kematian Lanur dan perintah Kodé Seket untuk ikut melayati jenazah Lanur, tak ada yang berkeberatan. Kera-kera itu telah berkumpul pada tempat yang telah ditentukan. Kodé Seket dan rombongannya tiba, berhenti sejenak lalu mereka berangkat ke pondok Lanur.
Pemuda yang ditugaskan menyampaikan berita kematian telah kembali. Ia bersama Lanur dan tiga ekor anjing bersembunyi di loteng. Selang beberapa jam rombongan kera-kera itu datang. Kodé Seket berjalan paling depan, sebentar-sebentar tersenyum, karena ia merasa girang mendapatkan Timung Té’é sebagai isteri, apabila Lanur telah dikuburkan. Ia membayangkan dan menghayalkan ucapan ayu bahagia para undangan, sahabat, kenalan, dan kaum kerabat pada saat keduannya besanding di pelaminan. Senyum kebahagian Kodé Seket itu, dalam bahasa daerah Manggarai dikenal dengan istilah sumir samir atau sumi samir, menandakan suatu kepastian tetapi ia tak pernah menduga bahwa sebentar lagi maut akan merenggut nyawanya dan seluruh rakyatnya.
Demikian gembiranya Kodé Seket saat itu, sehingga tak sempat memikirkan hal-hal yang mengancam keselamatan, baik ia sendiri maupun seluruh rakyatnya. Timung Té’é meratapi jenazah suaminya sambil mengucapkan kata-kata yang menyayati para pelayat. Semakin rombongan kera-kera dekat ke pondok, tangis Timung Té’é semakin memilukan hati oarng yang mendengarnya. Rombongan tiba di depan pintu pondok, mereka melihat jenazah yang dibungkus kain kafan.
Kodé Seket masuk ke pondok dan diikuti para pemimpin kelompok dan kera-kera yang lain. Diantara kera-kera itu ada seekor kera betina yang sedang hamil. Kodé Seket duduk berdampingan dengan Timung Té’é, para pemimpin kelompok di sisi jenazah yang berlawanan, kera-kera lain diseluruh ruangan. Ratapan Timung Té’é sambil mengucapkan kata-kata, antara lain, “aduh, nasibku malang tak ada yang menyamai pribadi Lanur, segala kebutuhan keluarga selalu terpenuhi. Kepada siapa lagi tempat aku bergantung, tak ada lagi yang akan mencari kayu api, makan dan kebtuhan lain-lain”. Kodé Seket berkata menghibur Timung Té’é, “jangan kuatir, ada aku, segala kebutuhan akan kupenuhi”. Ia memerintahkan rakyatnya mengambil kayu api, makan dan sayur-sayuran. Beberapa saat kemudian mereka kembali membawa kayu api, jagung, pisang, dan sayur-sayuran.
Timung Té’é meratapi lagi jenazah itu, sehingga Kode Seket berkata, “apa lagi yang engkau perlukan Timung Té’é , padahal kayu api, makanan, dan sayur-sayuran telah ada. “Timung Té’é tidak menghiraukan pertanyaan Kodé Seket itu. Ia terus meratapi jenazah sambil mengucapkan kata-kata, “tidak ada orang yang menutup lubang dinding, lantai dan mengikat pintu. “Kodé Seket menyuruh kera-kera itu menutup lubang-lubang dinding, lantai dan mengikat pintu kuat-kuat. Kera betina yang hamil tidak menutup lubang lantai di dekat ia duduk, karena ia mempunyai firasat, bahwa Timung Té’é memperdaya mereka.
Maut menimpa Kodé Seket dan rakyatnya tak dapat dihindari. Timung Té’é menangis kuat-kuat sambil mengucapkan, “lubang dinding, lantai telah di tutup dan pintu telah diikat kuat-kuat. “Lanur, si pemuda dan tiga ekor anjing turun tiba-tiba dari loteng. Anjing menggigit kera-kera itu, Lanur dan pemuda itu memukul dengan kayu kudung. Sementara kera-kera itu hiruk-pikuk, kera betina hamil keluar lewat lubang di dekatnya, lalu lari ke hutan. Kodé Seket dan kera-kera lainnya mati tak seekorpun yang luput.
Lanur dan pemuda itu membuka kain pembungkus kayu, membenahi segala sesuatu yang diperlukan, dan mereka mulai menguliti kera-kera itu.
Keluarga Lanur berpesta, dan tidak ada hal-hal yang perlu dirisaukan, sebab makanan, sayur-sayuran dan kayu api telah tersedia. Daging kera-kera dibuat dendeng selain mereka yang butuhkan saat itu. Setiap hari keluarga Lanur makan bagaikan suasana pesta.

Liang Bua

Liang Bua merupakan suatu tempat peninggalan sejarah pada masa purbakala. Liang Bua terletak di perbukitan kapur bagian utara kota Ruteng. Liang Bua memiliki keunikan yang membuat semua orang tertarik yaitu tempat atau letaknya sangat strategis, indah dan sejuk.
Di samping itu, di sana juga terdapat banyak fosik-fosil dari hasil galian yaitu berupa tulang-tulang dan bentuk-bentuk lainnya. Dan hasil galian ini diketahui bahwa tempat ini telah dihuni oleh nenek moyang pada masa purbakala.
Dengan demikian, tempat ini harus kita jaga dan kita lestarikan keindahan alamnya, karena tempat ini merupakan suatu tempat bersejarah di Kabupaten Manggarai dan juga merupakan salah satu tempat pariwisata di Kabupaten Manggarai.

Pengertian Liang Bua
Liang Bua terdiri dari dua kata, yaitu Liang dan Bua. Liang berarti gua dan bua berarti dingin. Jadi Liang Bua merupakan suatu tempat peninggalan bersejarah pada masa purbakala, dimana atau tempatnya sangat dingin dan sejuk.

Letak Liang Bua
Liang Bua terletak di daerah perbukitan kapur di wilayah Kabupaten Manggarai, Flores. Meskipun sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan kapur, akan tetapi daerah ini cukup subur, bahkan Manggarai sejak dulu dikenal sebagai salah satu lumbung padi untuk wilayah Flores.
Di samping memiliki potensi sumber daya alam yang menarik, Manggarai ternyata juga memiliki potensi sumber daya arkeologi yang mengagumkan. Hal tersebut dengan adanya arkeologi yang tersebar luas di daerah ini. Salah satu diantaranya adalah situs Liang Bua. Situs ini terletak di desa Liang Bua Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, sekitar 14 km dari utara kota Ruteng.

Penelitian di Liang Bua
Penelitian di Liang Bua pertama kali dilakukan oleh Theodorus Verhoeven, missionaris yang mengajar di Seminari Mataloko, Ngada tahun 1965. Ketika berkunjung di Liang Bua, gua tersebut masih digunakan untuk sekolah bagi anak-anak di sekitar Liang Bua. Hasil penelitian Verhoeven menggambarkan bahwa Liang Bua mengandung jejak kehidupan manusia yang berasosiasi dengan artefak batu dan tembikar.
Setelah Verhoeven, penelitian dilanjutkan oleh Prof. Dr. R.P. Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (sekarang Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional) tahun 1978 – 1989. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa situs Liang Bua telah dihuni sejak masa prasejarah, mulai dari masa paleolitik, mesolitik, neolitik, hingga masa paleometalik (logam awal). Berdasarkan hasil pertanggalan (dating) C14 dari kedalaman 3 meter diketahui bahwa Liang Bua telah dihuni oleh manusia modern sejak 10.000 tahun yang lalu.
Setelah mengalami kevakuman selama 12 tahun, maka atas prakarasa Prof. Dr. R.P. Soejono (Puslitbang-Arkenas) dan Prof. Mike Morwood (Universitas New England, Australia), diadakan kerjasama untuk melanjutkan penelitian di Liang Bua, antara 2001 – 2004. Selaku koordinator penelitian adalah Thomas Sutikna bersifat imerdisiplioner, melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu, antara lain: arkeologi, geologi, geomorfologi, geokronologi, paleontologi, palinologi, dsb. Fokus penelitian diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap tentang kepurbakalaan situs Liang Bua. Penelitian gabungan ini melakukan penggalian hingga mencapai kedalaman 10,7 meter tanpa menemukan lapisan gua.

Penemuan Bersejarah
Di bawah lapisan tufa vulkanik yang berumur sekitar 11.000 tahun ditemukan lapisan budaya lagi yang mengandung artefak batu dan tulang-tulang binatang seperti stegodon (gajah purba), komodo, kura-kura, tikus, burung, dsb.
Di samping itu, ditemukan pula rangka manusia kerdil yang kemudian diberi nama Homo Florensiesis di kedalaman 6 meter yang berasal dari sekitar 18.000 tahun yang lalu. Manusia kerdil ini berjenis kelamina perempuan berumur sekitar 30 tahun, tinggi sekitar 106cm, volume otak sekitar 380cc (dibandingkan dengan otak manusia modern yang minimum memiliki volume otak 1200cc). Secara keseluruhan, lapisan yang mengandung temuan-temuan tersebut berumur antara 95.000 – 12.000 tahun yang lalu.

TOING DIA bahasa manggarai

“TOING DIA”

Neka po’ong jogot
Neka tuke cempeng agu hae ata
Raes agu hae ka’eng
Bantang cama reje lele
Nai ca anggit,
Tuka ca leleng

Neka bara bana, neka tuka dio
Neka somor ngger olo
Sumir ngger musi
Neka behas neho kena,
Kaos neho kota

Paka di’a gauk, di’a tombo,
Di’a ba weki, agu hae ata


“NASIHAT BAIK”

Jangan menimbulkan kemarahan
Terhadap orang lain
Damailah dengan semua orang
Musyawarah bersama dan
Bersatu hati

Jangan ada perselisihan
Jangan menjadi provokator
Jangan mudah rusak seperti pagar
Bercerai seperti batu susun

Tunjukkan sikap yang baik,
Tata cara berbicara serta
Bawa diri yang baik

GO’ET manggarai

Eme cela tau du leso senin
Tawa koe kole du leso selasa
Eme jagur tau du leso rabu
Ngalis koe nai du leso kamis
Eme cuar tau du leso jumat
Raup koe kole du leso sabtu
Kudut ngalis koe nai du ngaji leso minggu

Ai kudut ngo one tanah data anak dami,
Ai hia wa’at agu wetung, kudut ngalis nai,cengka gerak
Du ngon hia lobo jarang ngorong
Du kolen ga agu lalong rombeng
Neka manga do’ong le ronggo
Rengga cengkang

Neka lako tengguk rantang kepu tengu
Neka lako conga rantang poka bokak
Riko-riko nuk koe ata musi mai beo

Cala te’e neho muku tara lando neho teu
akan masak seperti pisang, akan berbunga seperti tebu)

Ema agu anak neka woleng bantang, ase agu ka’e neka woleng tae
Bapak dan anak jangan beda pendapat, sanak saudara, kakak dan adik tidak boleh berbeda pendapat).

Ca natas bate labar, ca uma bate duat, ca wae bate cebong agu ca mbaru bate kaeng
Satu halaman tempat bermain/bercana ria, satu kebun tempat bekerja/bertani dan satu rumah tinggal bersama)

Ipung ca tiwu neka woleng wintuk
Nenar dalam satu kolam supaya tidak tinggal terpisah)

Muku ca pu’u neka woleng curup
pisang satu pohon jangan beda pendapat)

Deun lako do bae (banyak berjalan/merantau banyak pula ilmunya)

Don ita don kole bae (banyak yang ia lihat banyak pula pengalamannya)

Nai ca anggi, tuka ca leleng (seia sekata/satu konsepsi dari kesetaraan aksi)